Seorang Majikan di Malaysia Menyiram Air Panas ke Mulut TKI. Kasus penyiksaan pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia kembali mencuat dan mengguncang publik. Seorang PMI asal Sumatera Barat, yang baru bekerja sejak Februari 2025, mengalami penganiayaan berat dari majikannya di sebuah kondominium mewah Kuala Lumpur. Korban, yang identitasnya dirahasiakan demi privasi, diduga dipukuli berulang kali dan disiram air panas, termasuk ke bagian tubuh sensitif seperti mulut, hingga mengalami luka bakar derajat dua. Insiden ini terungkap setelah korban melakukan aksi dramatis untuk kabur dari lantai 29 kondominium pada Jumat dini hari, 14 November 2025. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur langsung turun tangan, menyatakan korban dalam kondisi stabil tapi trauma fisik dan mental. “Ini kasus serius yang tak bisa ditoleransi lagi,” ujar Duta Besar RI untuk Malaysia, Dato’ Indera Hermono, dalam pernyataan resminya. Kejadian ini menambah daftar panjang penyiksaan PMI di negeri jiran, memicu kecaman dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. BERITA BASKET
Kronologi Insiden yang Mengerikan: Seorang Majikan di Malaysia Menyiram Air Panas ke Mulut TKI
Penyiksaan dimulai sejak September 2025, tiga bulan setelah korban tiba di Malaysia. Awalnya, majikan—sepasang suami istri—hanya mengeluh soal pekerjaan rumah tangga yang dianggap lambat atau tak rapi. Namun, eskalasi cepat: korban dipukul dengan tangan, hanger plastik, hingga gagang sapu. Pada 13 November, korban diseret ke kamar mandi dan disiram air panas yang sudah dimasak, termasuk ke mulutnya saat berteriak minta tolong. Luka bakar parah di wajah, leher, dan lengan membuatnya kesakitan hebat, tapi majikan ancam ulangi jika tak selesaikan tugas. Korban dipaksa bekerja hingga jam 4.30 pagi, hanya istirahat 30 menit, dan bangun jam 5 pagi untuk bersih-bersih. Puncaknya Jumat dini hari: korban lompat dari jendela lantai 29 ke balkon tetangga untuk kabur, tapi majikan rayu masuk lagi. Begitu masuk, suami majikan dorong korban dan pukul lagi, lalu siram air panas kedua kalinya. Tetangga yang curiga lapor polisi, selamatkan korban dari nasib lebih buruk.
Kondisi Korban dan Respons KBRI: Seorang Majikan di Malaysia Menyiram Air Panas ke Mulut TKI
Korban kini dirawat di Rumah Sakit Kuala Lumpur (HKL) dengan luka bakar derajat dua di 20 persen permukaan tubuh, termasuk mulut yang bengkak dan sulit bicara. Dokter sebut pemulihan fisik butuh 4-6 minggu, tapi trauma psikologis lebih panjang—korban alami PTSD ringan dan takut keluar ruangan. KBRI langsung evakuasi korban ke shelter khusus PMI pada 15 November, lengkap dengan pengacara retainer untuk dampingi proses hukum. Hermono konfirmasi: “Korban stabil, tapi kami pastikan hak-haknya terpenuhi, termasuk tuntutan ganti rugi.” Polisi Malaysia tangkap majikan berinisial S dan A, umur 35-40 tahun, atas tuduhan penganiayaan berat berdasarkan Pasal 325 KUHP Malaysia—hukuman hingga 20 tahun penjara. KBRI koordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI untuk pulangkan korban secepatnya, plus tuntut kompensasi medis dan gaji tertunggak tiga bulan.
Dampak pada Komunitas PMI dan Hubungan Bilateral
Kasus ini bukan yang pertama, tapi paling kejam belakangan. Sejak 2020, setidaknya 15 PMI disiksa serupa di Malaysia, termasuk kasus Adelina Lisau di Penang yang majikannya lolos hukum. Data KBRI catat 200 laporan kekerasan domestik per tahun, mayoritas disiram air panas atau dipukul. Komunitas PMI di Kuala Lumpur panik—banyak yang tolak kerja domestik, pilih sektor lain meski gaji lebih rendah. Serikat buruh Indonesia kecam keras: “Malaysia harus tegas hukum majikan, bukan lindungi.” Hubungan bilateral tegang: RI minta audit pengawasan PMI, sementara Malaysia janji perketat izin majikan. Dampak ekonomi: ribuan PMI ragu migrasi, rugikan devisa Rp 10 triliun per tahun dari remitansi.
Kesimpulan
Kasus penyiksaan PMI dengan siraman air panas ke mulut jadi pengingat gelap soal kerentanan pekerja migran di Malaysia. Korban selamat berkat keberaniannya, tapi luka fisik dan jiwa butuh waktu panjang sembuh. KBRI dan polisi bergerak cepat, tapi pencegahan sistemik krusial—dari pengawasan ketat hingga edukasi majikan. Bagi Indonesia, ini dorong reformasi perlindungan PMI; bagi Malaysia, bukti komitmen hak asasi. Harapannya, kasus ini jadi akhir tragedi serupa, bukan awal babak baru. PMI layak hormat, bukan siksaan—saatnya aksi nyata dari kedua negara.