Kasus Ayam Goreng Widuran Solo. Ayam Goreng Widuran, rumah makan legendaris di Solo yang berdiri sejak 1973, mendadak menjadi pusat perhatian publik setelah terungkap bahwa salah satu menunya menggunakan bahan non-halal. Kasus ini mencuat pada 24 Mei 2025, setelah unggahan di media sosial mengungkap penggunaan minyak babi untuk kremesan ayam, memicu kekecewaan pelanggan, terutama umat Muslim. Polemik ini tidak hanya memunculkan isu kehalalan, tetapi juga menyoroti transparansi dan tanggung jawab pelaku usaha kuliner. Artikel ini mengulas kronologi kasus, respons pihak berwenang, dan dampaknya terhadap reputasi kuliner Solo. berita bola
Kronologi Kasus
Pada 24 Mei 2025, akun Threads @pedalranger memicu kehebohan dengan mengungkap bahwa kremesan Ayam Goreng Widuran di Jalan Sutan Syahrir, Solo, digoreng menggunakan minyak babi, menjadikannya non-halal. Meski ayam itu sendiri halal, penggunaan minyak babi tidak diungkapkan secara jelas selama puluhan tahun. Karyawan bernama Ranto membenarkan informasi ini, menyatakan bahwa manajemen telah memasang spanduk bertuliskan “Non-Halal” di depan restoran setelah isu ini viral. Namun, fakta bahwa spanduk serupa dengan label “Halal” pernah terlihat pada 2017 di Google Maps menambah kekecewaan pelanggan, yang merasa ditipu.
Respons Pihak Berwenang
Wali Kota Solo, Respati Ahmad Ardianto, langsung mengambil tindakan dengan melakukan inspeksi mendadak pada 26 Mei 2025, bersama Satpol PP, Dinas Perdagangan, dan Kementerian Agama setempat. Ia memerintahkan penutupan sementara rumah makan untuk asesmen ulang status kehalalan. Respati menyatakan kekecewaannya, terutama karena mertuanya adalah penggemar menu ini. Pemkot Solo juga mengambil sampel makanan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sementara itu, MUI Solo menilai kasus ini mengandung unsur penipuan dan melanggar UU Jaminan Produk Halal, mendesak penegakan hukum.
Reaksi Publik dan Laporan Hukum: Kasus Ayam Goreng Widuran Solo
Kasus ini memicu kemarahan publik, terutama di kalangan umat Muslim. Seorang warga, Muhammad Burhanuddin, bersama Dewan Syariah Kota Surakarta, melaporkan pemilik restoran, Indra, ke Polresta Solo pada 26 Mei 2025, dengan tuduhan pelanggaran UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran hukum yang merugikan hak konsumen, terutama umat Islam. Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) juga menyoroti bahwa permintaan maaf manajemen tidak cukup, mengingat ketidaktransparanan berlangsung selama puluhan tahun. Ulasan negatif membanjiri Google Review, dengan pelanggan seperti Ari Sunaryo menyatakan kekecewaan setelah menjadi langganan lama.
Dampak pada Reputasi Kuliner Solo
Ayam Goreng Widuran, yang terkenal dengan ayam kampung berbumbu rempah dan kremesan renyah, telah menjadi ikon kuliner Solo. Namun, kasus ini merusak kepercayaan publik. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh, memperingatkan bahwa insiden ini dapat merugikan reputasi Solo sebagai kota kuliner dan destinasi wisata religius. Anggota DPD, Hilmy Muhammad, menegaskan bahwa Pemerintah Kota Solo harus bertanggung jawab atas lemahnya pengawasan. Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, menyatakan bahwa penegakan hukum akan ditangani aparat berwenang, sambil menekankan perlunya pemeriksaan menyeluruh.
Langkah Manajemen dan Harapan ke Depan
Manajemen Ayam Goreng Widuran telah meminta maaf melalui media sosial dan memasang label “Non-Halal” di outlet serta platform seperti Google Maps. Namun, Kepala BPJPH Haikal Hasan mempertanyakan mengapa transparansi ini baru dilakukan setelah kasus mencuat. Untuk mencegah kasus serupa, MUI dan Pemkot Solo mendorong pengusaha kuliner untuk segera mengurus sertifikasi halal. Publik berharap kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya kejujuran dan pengawasan ketat dalam industri kuliner.
Penutup: Kasus Ayam Goreng Widuran Solo
Kasus Ayam Goreng Widuran mengguncang kepercayaan publik terhadap kuliner legendaris di Solo. Dengan penutupan sementara, laporan hukum, dan desakan sertifikasi halal, kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dalam bisnis makanan. Ke depan, pengawasan yang lebih ketat dan kesadaran pelaku usaha akan status kehalalan diharapkan dapat memulihkan kepercayaan konsumen dan menjaga reputasi Solo sebagai kota kuliner.