Politik Anti-Imigran Dukung Meningkatnya Rasisme di Jerman

politik-anti-imigran-dukung-meningkatnya-rasisme-di-jerman

Politik Anti-Imigran Dukung Meningkatnya Rasisme di Jerman. Di tengah hiruk-pikuk pemilu negara bagian Thuringia dan Saxony September lalu, di mana partai sayap kanan Alternatif für Deutschland (AfD) meraih kemenangan telak, isu politik anti-imigran kembali jadi sorotan tajam di Jerman. Kebijakan ketat imigrasi yang digaungkan pemerintah federal di bawah Kanselir Olaf Scholz, ditambah narasi populis dari AfD, ternyata tak hanya batasi arus migran, tapi juga picu lonjakan rasisme yang mengkhawatirkan. Laporan terbaru dari Deutsche Welle menunjukkan, fokus politik pada migrasi jadi pendorong utama diskriminasi rasial di Eropa, khususnya Jerman, di mana kasus hate crime naik 20 persen sepanjang 2025. Dari serangan verbal di media sosial hingga kekerasan fisik terhadap migran, tren ini soroti bagaimana retorika anti-imigran normalisasi prasangka. Artikel ini kupas dinamika itu, dari kebangkitan AfD hingga dampak sosial yang mendalam, di saat Jerman hadapi tantangan integrasi pasca-krisis Ukraina dan Gaza. BERITA TERKINI

Kebangkitan AfD: Retorika Populisme yang Normalisasi Rasisme: Politik Anti-Imigran Dukung Meningkatnya Rasisme di Jerman

AfD, partai sayap kanan yang lahir 2013 sebagai respons krisis euro, kini jadi kekuatan utama dengan dukungan 30 persen di wilayah timur Jerman. Kemenangan di Thuringia (32,8 persen) dan Saxony (30,6 persen) September 2025 jadi pukulan telak bagi koalisi Scholz, dan narasi mereka—”Jerman untuk orang Jerman”—langsung soroti imigran sebagai ancaman ekonomi dan budaya. Pemimpin AfD seperti Björn Höcke sering sebut migrasi “invasi”, retorika yang Human Rights Watch catat gagal dibantah partai demokrasi utama, biarkan narasi rasis menyebar.

Ini bukan sekadar kampanye; survei DeZIM 2025 tunjukkan 40 persen pemilih AfD setuju stereotip negatif terhadap migran Muslim, naik 10 persen dari 2024. Kebijakan federal seperti deportasi 28 warga Afghanistan yang Amnesty kritik langgar non-refoulement tambah bahan bakar, bikin masyarakat biasa merasa “dibenarkan” dalam prasangka. Di kota seperti Chemnitz, demo anti-imigran naik 50 persen pasca-pemilu, soroti bagaimana politik ini ubah diskusi publik dari integrasi jadi eksklusi.

Lonjakan Insiden Rasisme: Dari Verbal ke Kekerasan: Politik Anti-Imigran Dukung Meningkatnya Rasisme di Jerman

Politik anti-imigran tak cuma omong kosong; laporan DW sebut ia kontribusi langsung ke rasisme sehari-hari, terutama bagi komunitas Kulit Hitam yang diskriminasi naik 25 persen di 2025. Kasus seperti serangan di Berlin terhadap pengungsi Suriah September lalu, di mana kelompok neo-Nazi teriak slogan AfD, jadi contoh nyata. Statistik polisi federal catat hate crime 22.000 kasus tahun ini, naik 15 persen dari 2024, dengan 60 persen target migran.

Di media sosial, retorika AfD amplifikasi: Tagar #Remigration trending 1 juta kali pasca-pemilu, sering disertai meme rasis yang Amnesty sebut normalisasi kekerasan. Korban seperti komunitas Afrika di Frankfurt laporkan pelecehan verbal naik 30 persen, soroti bagaimana politik ini beri “izin sosial” untuk prasangka. Pemerintah Scholz respons dengan kampanye anti-rasisme, tapi kritik dari jurnal akademik bilang itu terlambat—PRRPs seperti AfD sudah ubah narasi nasional jadi anti-migran.

Dampak Sosial: Integrasi Terancam dan Respons Masyarakat

Dampak politik anti-imigran ke rasisme soroti ancaman integrasi Jerman yang multikultural. Laporan HRW 2025 sebut partai demokrasi gagal lawan narasi far-right, bikin migran merasa tak aman—28 deportasi ke Afghanistan langgar hak asasi, picu demo di Berlin. Di tingkat lokal, sekolah di Saxony laporkan bullying terhadap anak migran naik 40 persen, soroti bagaimana anak muda terpapar retorika AfD via TikTok.

Respons masyarakat campur: Gerakan anti-rasisme seperti “Unteilbar” gelar demo 100 ribu orang di Berlin Oktober ini, tuntut reformasi kewarganegaraan yang lebih inklusif. Tapi, survei DeZIM tunjukkan 35 persen warga Jerman setuju “imigran ambil pekerjaan”, naik pasca-pemilu—bukti politik ini polarisasi masyarakat. Pemerintah Scholz janji paket integrasi €5 miliar, tapi tanpa atasi akar rasisme dari AfD, dampak sosial ini bisa jangka panjang, tekan kohesi nasional.

Kesimpulan

Politik anti-imigran di Jerman, didorong kemenangan AfD di Thuringia-Saxony, tak cuma batasi migrasi tapi dukung lonjakan rasisme yang mengkhawatirkan—dari retorika populis yang normalisasi prasangka hingga insiden kekerasan naik 20 persen. Dampaknya ancam integrasi multikultural Jerman, dengan migran dan minoritas merasa tak aman di tengah polarisasi. Respons pemerintah dan masyarakat jadi krusial; tanpa kontra-narasi kuat, tren ini bisa eskalasi. Jerman, negara model Eropa, harus pilih: Eksklusi atau inklusi? Pemilu federal 2026 bakal jawab—untuk sekarang, dialog dan aksi anti-rasisme jadi langkah darurat.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *