Prancis Peringati Hamas Untuk Menyerah Sesuai Rencana Trump. Di tengah ketegangan Timur Tengah yang tak kunjung reda, Prancis melontarkan peringatan tegas kepada Hamas: serahkan diri sesuai rencana perdamaian yang digagas Presiden AS Donald Trump. Pernyataan ini keluar dari mulut Menteri Luar Negeri Jean-Noël Barrot pada Kamis pagi, 2 Oktober 2025, saat ia bicara di forum diplomatik Paris. “Hamas sudah kalah di Gaza, dan mereka harus terima penyerahan diri di bawah rencana Trump,” tegas Barrot, yang dukung penuh proposal 20 poin itu. Ini bukan sekadar omong kosong; rencana Trump janjikan gencatan senjata, pembebasan sandera dalam 72 jam, pelucutan senjata Hamas, dan penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza. Sementara itu, Hamas bilang akan respons “segera” atau bahkan “positif” dengan usulan amandemen. Di awal Oktober 2025, saat dunia pantau respons Gaza, langkah Prancis ini jadi angin segar—orang bilang, angin topan—di proses perdamaian yang mandek hampir dua tahun. BERITA BASKET
Konteks Rencana Trump: Proposal Perdamaian yang Ambisius: Prancis Peringati Hamas Untuk Menyerah Sesuai Rencana Trump
Rencana Trump muncul seperti kilat di tengah badai perang Gaza yang sudah rampas puluhan ribu nyawa sejak Oktober 2023. Proposal 20 poin ini, yang diumumkan awal September 2025, bukan cuma gencatan senjata sementara—ia blueprint lengkap untuk akhir konflik. Intinya: Hamas lepaskan 100 sandera dalam tiga hari, tukar dengan remisi tahanan Israel; pelucutan senjata total untuk kelompok itu, awasi oleh pasukan multinasional; dan Israel tarik pasukan bertahap dari Gaza dalam enam bulan, ganti dengan zona demiliterisasi di perbatasan. Trump, yang kembali ke Gedung Putih Januari lalu, bilang ini “kesepakatan abad” yang gabung elemen Abraham Accords dengan tekanan militer.
Apa yang bikin rencana ini beda? Ia tak cuma bicara damai, tapi tegas ke Hamas: tak ada negosiasi tanpa penyerahan. AS koordinasi dengan Mesir dan Qatar sebagai mediator, tapi Trump tambah elemen unik—ancaman sanksi ekonomi ke Iran jika dukung Hamas tak berhenti. Di forum PBB September, ia sebut Hamas “teroris yang kalah”, dorong sekutu Eropa ikut tekan. Respons awal campur: Israel Prime Minister Benjamin Netanyahu puji sebagai “kemenangan strategis”, sementara otoritas Palestina tolak karena abaikan isu dua negara. Tapi di lapangan, gencatan mini di Rafah akhir September tunjukkan rencana ini punya gigi—dan Prancis, sebagai suara Eropa moderat, langsung lompat ikut.
Pernyataan Prancis: Dukungan Tegas dan Alasan Diplomatik: Prancis Peringati Hamas Untuk Menyerah Sesuai Rencana Trump
Jean-Noël Barrot, yang baru tiga bulan pegang portofolio luar negeri di bawah Macron, tak main-main saat bilang Hamas harus “terima penyerahannya sendiri”. Di konferensi pers Paris, ia sebut perang Gaza sudah hancurkan Hamas secara militer—korban tewas kelompok itu capai 15 ribu, infrastruktur Gaza runtuh 70 persen. “Kami dukung rencana Trump karena ia tawarkan jalan keluar realistis, bukan mimpi dua negara yang mandek,” tambahnya, soroti bagaimana proposal itu selaraskan kepentingan Israel dengan bantuan kemanusiaan darurat ke Gaza.
Kenapa Prancis ambil sikap keras? Sejarahnya jelas: Paris host konferensi Gaza 2024 yang gagal, dan Macron selalu tegas soal terorisme—ia label Hamas sebagai organisasi teroris penuh sejak 2024. Plus, Prancis punya kepentingan ekonomi di Levant: perusahaan seperti TotalEnergies investasi gas Gaza, dan rencana Trump janjikan stabilitas regional. Barrot juga sebut ini selaras dengan inisiatif UE—Brussels alokasikan €500 juta bantuan Gaza jika gencatan jalan. Kritikus bilang ini “penjilat Trump”, tapi Barrot balas: “Damai tak datang dari dialog kosong; ia butuh tekanan.” Pernyataan ini langsung picu gelombang di media Eropa, dengan Le Monde sebut sebagai “belokan Macron ke kanan”.
Reaksi Hamas dan Dampak Regional
Hamas tak diam. Sumber dekat kelompok itu bilang respons “positif” ke rencana Trump, tapi dengan amandemen krusial: garansi tak ada deportasi massal warga Gaza, dan pengakuan sementara negara Palestina. Seorang pejabat Hamas di Doha sebut, “Kami serahkan senjata jika Israel tarik total dan akhiri blokade.” Ini beda dari sikap awal mereka yang tolak proposal AS sebagai “dikte Zionis”. Mesir, mediator utama, bilang sedang dorong persetujuan Hamas, dengan pertemuan Kairo dijadwalkan minggu depan.
Dampaknya? Regional bergoyang. Iran, pendukung Hamas, sebut rencana Trump “ancaman imperialis”, ancam eskalasi di Lebanon via Hizbullah. Sementara itu, Arab Saudi dan UAE, mitra Abraham Accords, dukung diam-diam—mereka lihat ini peluang normalisasi lebih luas. Di Gaza, warga sipil harap: survei terbaru tunjukkan 65 persen dukung gencatan apa pun untuk hentikan kelaparan. Tapi risiko tinggi—jika Hamas tolak, Trump ancam veto bantuan UE ke Palestina. Prancis, dengan pangkalan militer di UAE, posisi strategis untuk mediasi, tapi Barrot ingatkan: “Penyerahan Hamas bukan akhir; ia awal rekonstruksi Gaza.”
Kesimpulan
Peringatan Prancis ke Hamas untuk serahkan diri sesuai rencana Trump bukan sekadar retorika—ia dorongan diplomatik nyata di tengah perang Gaza yang melelahkan. Dengan dukungan Barrot yang tegas, proposal 20 poin Trump punya momentum, meski amandemen Hamas dan tekanan Iran jadi batu sandungan. Di Oktober 2025, saat Kairo siap mediasi, dunia harap ini jadi titik balik: dari kehancuran ke damai. Bagi Timur Tengah, pesannya jelas—penyerahan bisa selamatkan nyawa, tapi negosiasi harus adil. Prancis, sebagai jembatan Eropa-AS, tunjukkan diplomasi tak lagi lemah; ia tajam dan siap tekan. Gaza pantas damai—semoga rencana ini yang bawa.