Presiden Suriah Akan Secepatnya Bertemu Dengan Trump. Kunjungan resmi pertama Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa ke Amerika Serikat menjadi sorotan dunia pada akhir pekan ini, dengan pertemuan langsung dengan Presiden Donald Trump dijadwalkan pada 10 November 2025 di Gedung Putih. Sharaa, pemimpin interim yang naik setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad akhir Desember 2024, tiba di Washington D.C. Sabtu pagi, disambut protokol ketat dari Kementerian Luar Negeri AS. Langkah ini menandai babak baru hubungan bilateral yang tegang selama bertahun-tahun, di mana AS baru saja cabut sanksi terkait terorisme terhadap Sharaa untuk fasilitasi dialog. Trump, yang sejak awal masa jabatan keduanya tekankan pendekatan “deal-making” di Timur Tengah, bilang melalui pernyataan singkat: “Kami siap bicara masa depan, bukan masa lalu.” Di tengah gejolak regional—termasuk operasi keamanan Suriah melawan sisa-sisa ISIS—pertemuan ini bukan cuma simbolis; ini peluang rekonstruksi ekonomi Suriah pasca-perang saudara. Dengan Sharaa yang dulu punya bounty 10 juta dolar AS karena keterlibatan kelompok ekstremis, momen ini penuh ironis tapi penuh harapan bagi stabilitas kawasan. REVIEW KOMIK
Latar Belakang Sharaa yang Penuh Liku: Presiden Suriah Akan Secepatnya Bertemu Dengan Trump
Ahmad al-Sharaa bukan figur biasa di panggung Suriah; karirnya penuh liku yang bikin perjalanannya ke Gedung Putih terasa seperti plot film thriller. Lahir di Idlib tahun 1980, Sharaa bergabung dengan kelompok pemberontak awal perang saudara 2011, pernah ditahan di penjara Abu Ghraib Irak selama tiga tahun sebelum dibebaskan 2014. Dulu dikenal sebagai komandan lapangan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ia punya bounty 10 juta dolar dari AS karena dugaan ikatan ISIS dan Al-Qaida. Tapi pasca-jatuhnya Assad Desember 2024, Sharaa muncul sebagai figur transisi: bentuk pemerintahan sementara, janji pemilu 2026, dan fokus stabilkan ekonomi yang hancur perang.
AS awalnya ragu, tapi sanksi dicabut 7 November 2025 oleh Dewan Keamanan PBB, buka jalan dialog. Sharaa, yang kini pimpin koalisi anti-Assad, sudah lakukan reformasi awal: bebaskan 5 ribu tahanan politik dan undang bantuan internasional untuk rekonstruksi. Trump pilih ia sebagai lawan bicara karena “pragmatis”, kata sumber dekat Gedung Putih. Kunjungan ini pertama bagi pemimpin Suriah sejak Hafez al-Assad 1980-an—simbol perubahan radikal. Sharaa tiba dengan agenda sederhana: minta dukungan ekonomi 50 miliar dolar untuk bangun ulang infrastruktur, tukar jaminan netralitas terhadap Israel. Latar belakangnya yang rumit bikin pertemuan ini sensitif, tapi juga peluang: dari tahanan jadi tamu negara, Sharaa wakili harapan transisi damai di Suriah.
Persiapan Pertemuan yang Ketat dan Strategis: Presiden Suriah Akan Secepatnya Bertemu Dengan Trump
Persiapan pertemuan Sharaa-Trump berlangsung ketat, dengan tim diplomatik AS pimpin koordinasi sejak Oktober. Sharaa tiba Jumat malam via penerbangan charter dari Damaskus, disambut duta besar AS di Suriah yang baru ditunjuk Maret lalu. Agenda dibagi dua hari: Sabtu diskusi tertutup soal keamanan, termasuk operasi preemptive Suriah lawan ISIS yang baru dilancarkan—Sharaa konfirmasi 200 target dihancurkan. Minggu, 10 November, pertemuan utama di Oval Office: Trump rencanakan bahas sanksi ekonomi penuh, tukar bantuan militer ringan untuk stabilkan perbatasan Lebanon.
Tim Trump, dipimpin Mike Pompeo sebagai penasihat khusus, siapkan “grand bargain”: cabut sanksi total tukar komitmen Sharaa hentikan dukungan HTS dan buka akses minyak untuk Eropa. Sharaa bawa delegasi enam orang, termasuk menteri luar negeri dan ekonom, dengan tuntutan utama: pinjaman IMF 20 miliar untuk listrik dan air. Keamanan super ketat: Secret Service lapisi rute dari bandara ke hotel, sementara demonstran pro-Assad di Washington dipantau ketat. Trump tweet pagi ini: “Besok, deal besar untuk Timur Tengah—Suriah bisa jadi mitra, bukan musuh.” Persiapan ini strategis: AS mau akses basis udara Damaskus untuk operasi anti-ISIS, sementara Sharaa cari legitimasi global. Di balik layar, Rusia dan Turki beri restu diam-diam, tapi Iran khawatir pengaruh AS naik.
Implikasi Diplomatik untuk Timur Tengah
Pertemuan ini punya implikasi luas bagi Timur Tengah, di mana stabilitas Suriah jadi kunci perdamaian kawasan. Bagi AS, ini kemenangan Trump: dari sanksi Assad 2011 jadi dialog dengan penerusnya, tunjukkan pendekatan “America First” yang fleksibel. Sharaa dapat legitimasi—PBB sudah angkat sanksi 1267/1989/2253 soal terorisme—tapi harus janji reformasi hak asasi manusia, termasuk investigasi pembantaian 2013. Bagi Suriah, deal ini bisa bawa 30 miliar bantuan rekonstruksi, kurangi kelaparan yang picu 2 juta pengungsi baru tahun ini.
Kawasan lain ikut terdampak: Israel khawatir Sharaa terlalu dekat AS, sementara Lebanon lihat peluang stabilisasi perbatasan. Rusia, sekutu Assad dulu, dukung diam-diam untuk jaga pengaruh di Latakia. Turki, yang dukung oposisi, minta jaminan kurdi tak kuasai utara Suriah. Secara global, ini model “deal diplomacy”: Trump janji “win-win”, tapi analis khawatir Sharaa gunakan untuk kuasai kekuasaan permanen. Implikasi ekonomi? Minyak Suriah bisa ekspor ke Eropa, stabilkan harga global. Di akhir 2025, pertemuan ini bisa jadi titik balik—dari perang jadi rekonstruksi, asal janji ditepati.
Kesimpulan
Pertemuan Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa dengan Donald Trump 10 November 2025 adalah langkah berani menuju normalisasi, dari latar belakang Sharaa yang rumit hingga persiapan ketat yang strategis. Implikasinya luas: bantuan ekonomi untuk Suriah, stabilitas kawasan, dan model diplomasi Trump yang pragmatis. Di tengah luka perang, momen ini penuh harapan—Sharaa wakili transisi, Trump tawarkan deal. Washington jadi panggung baru; hasilnya bisa ubah Timur Tengah, atau cuma janji kosong. Yang pasti, dunia tunggu apa yang lahir dari Oval Office besok—mungkin perdamaian, mungkin tawar-menawar. Suriah, saatnya angkat kepala.