Kamboja Melakukan Gencatan Senjata, Thailand Buka Suara. Konflik senjata yang terjadi di perbatasan Thailand dan Kamboja kembali memanas sejak Kamis di tanggal 24 Juli 2025, kejadian ini menewaskan sedikitnya 32 orang dan memaksakan ratusan ribu warga untuk mengungsi. Sengketa wilayah seputar Kuil Preah Vihear, situs Warisan Dunia UNESCO, menjadi pemicu utama ketegangan ini. Kamboja, melalui utusannya di PBB, mendesak gencatan senjata segera tanpa syarat, sementara Thailand menunjukkan keterbukaan untuk berdialog, meski dengan syarat tertentu. Situasi ini mengundang perhatian dunia, termasuk imbauan dari Ketua ASEAN, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, untuk segera menghentikan pertempuran. BERITA LAINNYA
Apakah Perang Ini Bisa Berlanjut Terus?
Konflik ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sengketa perbatasan terutama di Kuil Preah Vihear, menjadi salah satu pemicu ketegangan sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan mereka juga pernah memutuskan hubungan diplomatik di tahun 1958 dan 1961. Eskalasi kali ini ditandai dengan serangan artileri, roket, jet tempur, hingga tank, yang menunjukkan intensitas lebih serius dibandingkan bentrokan sebelumnya. Dengan lebih dari 138.000 warga Thailand dan 23.000 warga Kamboja mengungsi, risiko konflik berkepanjangan sangat nyata. Thailand melaporkan 14 warga sipil dan satu tentara tewas, sementara Kamboja mencatat 13 korban, termasuk tujuh warga sipil. Jika tidak ada langkah diplomasi yang konkret, pertempuran bisa meluas, mengancam stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Kenapa Kamboja Masih Menyerang Thailand?
Kedua negara ini sudah saling tuding sebagai pihak yang memulai serangan. Thailand mengklaim Kamboja memprovokasi dengan menerbangkan drone dan menembakkan roket ke wilayah mereka, termasuk menargetkan infrastruktur sipil seperti rumah sakit. Sebaliknya, Kamboja menyebut Thailand mengerahkan pasukan berat dan melakukan serangan udara untuk menduduki wilayah mereka. Kementerian Pertahanan Kamboja bahkan menuding Thailand sengaja memicu konflik untuk menutupi masalah politik dalam negeri, terutama setelah skorsing Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra. Di sisi lain, Kamboja, dengan kekuatan militer yang lebih kecil, tampaknya ingin menegaskan klaim atas wilayah sengketa. Ketegangan historis dan nasionalisme yang menguat di kedua belah pihak membuat situasi sulit reda tanpa mediasi.
Apakah Mereka Akan Damai Secepatnya?
Pada Jumat kemarin, tanggal 25 Juli 2025, Kamboja memulai gencatan senjata tanpa adanya syarat dalam pertemuan dararurat Dewan Keamanan PBB. Duta Besar Kamboja, Chhea Keo, menegaskan keinginan Phnom Penh untuk menyelesaikan konflik secara damai. Thailand, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Nikorndej Balankura, menyatakan kesiapan berdialog, bahkan dengan mediasi Malaysia sebagai Ketua ASEAN. Namun, Thailand menekankan bahwa gencatan senjata harus berdasarkan “kondisi lapangan yang sesuai,” mengingat mereka masih melihat serangan Kamboja sebagai tindakan tanpa itikad baik. Anwar Ibrahim melaporkan kedua pihak menunjukkan sinyal positif, tetapi penarikan pasukan dari perbatasan membutuhkan waktu. Dengan dukungan ASEAN dan tekanan internasional, peluang damai ada, meski tantangan seperti ketidakpercayaan dan isu historis masih menghambat.
Kesimpulan: Kamboja Melakukan Gencatan Senjata, Thailand Buka Suara
Konflik antara Kamboja dan Thailand kali ini menunjukkan bahwa adanya kerapuhan stabilitas di kawasan perbatasan. Seruan gencatan senjata dari Kamboja dan keterbukaan Thailand untuk berdialog memberikan harapan, tetapi kedua pihak harus menunjukkan komitmen nyata untuk de-eskalasi. Peran ASEAN, khususnya mediasi Malaysia, menjadi kunci untuk mencegah perang yang lebih luas. Dunia kini menanti langkah konkret dari kedua negara untuk mengedepankan diplomasi demi perdamaian.