Australia-Indonesia Sepakati Perjanjian Keamanan Terbaru. Pada 12 November 2025, Australia dan Indonesia mencapai tonggak baru dalam hubungan bilateral dengan kesepakatan substansial atas Treaty on Common Security, perjanjian keamanan terbaru yang langsung disambut positif oleh kedua pemimpin negara. Perdana Menteri Anthony Albanese dan Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan kesimpulan negosiasi ini melalui pernyataan bersama, menekankan komitmen bersama untuk hadapi tantangan regional yang semakin kompleks. Perjanjian ini bukan sekadar dokumen kertas—ini langkah konkret untuk perkuat kerjasama di tengah ketegangan geopolitik Indo-Pasifik, termasuk isu Laut China Selatan. Dengan durasi negosiasi yang relatif singkat sejak awal tahun, kesepakatan ini jadi simbol kemitraan matang yang sudah berjalan puluhan tahun. Bagi kedua negara, ini berarti stabilitas lebih kuat, tapi juga ujian nyata di lapangan. Apa isi perjanjian ini, dan bagaimana dampaknya ke depan? REVIEW KOMIK
Latar Belakang Kesepakatan yang Matang: Australia-Indonesia Sepakati Perjanjian Keamanan Terbaru
Hubungan keamanan Australia-Indonesia tak asing lagi—sejak era 1990-an, keduanya sudah bangun fondasi melalui latihan militer bersama seperti Pacific Patrol Boat program yang bantu Indonesia kawal perbatasan maritim. Tapi, Treaty on Common Security ini beda level: lahir dari dorongan mendesak pasca-ketegangan 2024 di Laut China Selatan, di mana kapal asing sering langgar zona ekonomi eksklusif Indonesia. Negosiasi dimulai Januari lalu saat kunjungan Albanese ke Jakarta, di mana Prabowo—baru dilantik sebagai presiden—tekankan visi “keamanan bersama” sebagai prioritas utama.
Kesepakatan ini substansial, artinya hampir final dan tinggal ratifikasi parlemen kedua negara. Albanese bilang dalam pengumuman, “Ini perjanjian historis yang bentuk ulang masa depan konflik di kawasan kami.” Faktor pendorongnya jelas: kedua negara sadar ancaman hybrid seperti siber dan maritim butuh tangan bersatu. Australia bawa pengalaman AUKUS, sementara Indonesia tawarkan posisi strategis di Selat Malaka. Ini lanjutan dari Comprehensive Strategic Partnership 2018, tapi lebih operasional—bukan janji kosong, melainkan blueprint aksi nyata.
Isi Utama Perjanjian Keamanan: Australia-Indonesia Sepakati Perjanjian Keamanan Terbaru
Treaty on Common Security fokus pada empat pilar utama yang langsung aplikatif. Pertama, kerjasama intelijen: kedua negara sepakat bagikan data real-time soal ancaman maritim dan terorisme, termasuk akses bersama ke satelit pengawas perbatasan. Ini krusial bagi Indonesia yang hadapi ribuan pulau rentan infiltrasi, dan Australia yang khawatir arus migran ilegal via jalur laut.
Kedua, latihan militer terintegrasi: mulai 2026, keduanya gelar simulasi bersama tahunan melibatkan angkatan laut dan udara, skenario hipotetis konflik regional termasuk evakuasi sipil. Ketiga, aturan keterlibatan: perjanjian rumuskan protokol bantuan militer, seperti bantuan logistik Australia ke Indonesia dalam krisis, tapi tanpa ikatan aliansi permanen—fleksibel sesuai konstitusi kedua negara. Keempat, dimensi non-tradisional: kolaborasi siber dan bencana alam, dengan Australia bantu bangun pusat data Indonesia untuk tanggap gempa atau banjir.
Perjanjian ini tak sebut nama China secara eksplisit, tapi konteksnya jelas: merespons klaim tumpang tindih di Laut Natuna Utara. Panjangnya cuma 20 halaman, tapi substansinya dalam—target implementasi penuh akhir 2026. Prabowo tekankan, “Ini bukan konfrontasi, tapi pencegahan—kami bangun tembok bersama untuk kawasan damai.”
Dampak Regional dan Tantangan ke Depan
Dampak perjanjian ini langsung terasa di Indo-Pasifik. Bagi ASEAN, ini contoh bagus kerjasama bilateral tanpa dominasi blok besar, bisa dorong inisiatif serupa dengan Filipina atau Vietnam. Australia dapat posisi lebih kuat di kawasan, lengkapi AUKUS tanpa provokasi, sementara Indonesia perkuat bargaining power di forum regional. Ekonomi juga untung: kerjasama ini buka pintu investasi Australia di infrastruktur maritim Indonesia, potensi tambah 2 miliar dolar perdagangan tahunan.
Tapi, tantangan tak sedikit. Ratifikasi parlemen bisa molor—di Australia, oposisi khawatir biaya, sementara di Indonesia, kelompok nasionalis ragu soal kedaulatan. Plus, eksekusi lapangan: latihan bersama butuh koordinasi rumit, dan isu siber sensitif soal berbagi data. Di tengah pemilu AS 2026 yang bisa ubah dinamika, perjanjian ini uji ketahanan. Albanese bilang, “Ini komitmen jangka panjang—kami siap hadapi badai apa pun.” Bagi kedua negara, suksesnya tergantung implementasi, bukan cuma tinta.
Kesimpulan
Kesepakatan Treaty on Common Security antara Australia dan Indonesia pada 12 November 2025 jadi babak baru dalam diplomasi Indo-Pasifik, campur latar matang, isi operasional, dan dampak luas. Dari kerjasama intelijen hingga latihan militer, ini bukti dua negara tetangga siap hadapi ancaman bersama tanpa kehilangan identitas. Tantangan ratifikasi dan eksekusi ada, tapi komitmen Albanese-Prabowo beri optimisme. Di kawasan yang rawan konflik, perjanjian ini bukan akhir—ini awal era keamanan kolaboratif. Bagi Indonesia dan Australia, ini janji stabilitas; bagi kawasan, inspirasi untuk ikut tangan. Pekan depan, pantau ratifikasi—langkah selanjutnya bakal tentukan seberapa kuat tembok ini berdiri.